Waspada Enam Risiko Energi Dampak Perang Dagang

KETEGANGAN PERANG DAGANG ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK MULAI MENGGANGGU STABILITAS SEKTOR ENERGI GLOBAL, TERMASUK INDONESIA.

Dunia tengah menghadapi gelombang besar ketegangan geopolitik yang berdampak luas pada stabilitas ekonomi global. Ketika perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memanas, efek domino dari kebijakan proteksionisme mulai dirasakan hingga ke sektor paling vital, yakni; energi dan kelistrikan. Negara berkembang seperti Indonesia pun tak luput dari dampaknya. Namun, di tengah badai ini, muncul seruan untuk terus menjaga “api” — semangat untuk bertahan, berinovasi, dan mengembangkan potensi dalam negeri.

Prof. Agus Pramono, Guru Besar Manufaktur Komposit sekaligus Kepala Pusat Penelitian Material Maju,Energi, dan Teknologi Hijau di LPPM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta),

menjelaskan bahwa kebijakan proteksionisme global mulai memukul sektor energi dan kelistrikan Indonesia. Menurutnya, kebijakan seperti tarif impor tinggi, hambatan non-tarif, serta kewajiban kandungan lokal menurunkan daya saing produk ekspor nasional.

“Negara berkembang seperti Indonesia terdampak signifikan akibat kebijakan tersebut. Produk seperti panel surya, kabel listrik, turbin, dan jasa engineering menjadi kurang kompetitif. Selain itu, ketergantungan terhadap impor bahan baku menaikkan biaya produksi, hambatan transfer teknologi, dan terbatasnya pasar ekspor membuat situasi semakin sulit,” ujar Gus Pram, panggilan akrab Prof. Agus, saat diwawancarai Senin (19/5/2025).

Peluang Transformasi

Meski menghadapi tantangan besar, Gus Pram menilai situasi ini justru membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan transformasi industri. “Ini saat yang tepat untuk memperkuat industri dalam negeri dan memperluas diversifikasi pasar ekspor,” katanya. Dengan begitu, Indonesia dapat beralih menjadi produsen berdaya saing tinggi yang menghasilkan produk bernilai tambah serta menembus pasar baru yang menjanjikan. Namun, hal ini membutuhkan sinergi antara pemerintah dan pelaku industri. Jika ketegangan global terus berlanjut, Prof. Agus memperingatkan sektor energi dan kelistrikan Indonesia akan menghadapi risiko serius. Ada enam risiko utama yang harus diwaspadai, antara lain penurunan permintaan ekspor, kenaikan harga bahan baku, berkurangnya investasi asing, hambatan akses teknologi, fluktuasi harga energi global, dan berkurangnya pasar ekspor akibat proteksionisme negara maju.

“Sektor energi juga berisiko kehilangan pasar karena penurunan permintaan ekspor produk seperti generator dan peralatan transmisi. Investasi asing menurun akibat ketidakpastian, sementara akses teknologi terhambat oleh pembatasan ekspor teknologi dari negara maju,” jelasnya.

Perlunya Strategi Ekspor Adaptif

Gus Pram menilai bahwa Indonesia belum memiliki strategi ekspor sektor energi yang spesifik dan adaptif. “Kebijakan yang ada masih bersifat umum dan belum menyentuh aspek teknis ekspor secara mendalam. Yang perlu diperkuat adalah insentif fiskal bagi eksportir, perlindungan risiko dagang, dan strategi penetrasi pasar non-tradisional,” tambahnya

Indonesia memiliki keunggulan signifikan, terutama dari sisi sumber daya energi terbarukan seperti panas bumi, biomassa, dan surya. Beberapa industri lokal sudah mampu memproduksi panel surya dan sistem kontrol kelistrikan secara mandiri.

“Inovasi dan efisiensi produksi menjadi kunci untuk menembus pasar ekspor, terutama menghadapi hambatan tarif. Sertifikasi produk dan penguatan branding nasional juga sangat penting,” ujarnya.

Ia juga menekankan peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif. “Pemerintah harus mendorong ekspor melalui insentif, kemudahan perizinan, pembiayaan ekspor, serta diplomasi dagang aktif. Namun, semua kebijakan ini harus diimplementasikan secara konsisten,” katanya.

Bahkan, Gus Pram menyebutkan sejumlah negara potensial sebagai pasar ekspor baru, seperti India, Bangladesh, Kenya, Nigeria, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Kawasan ASEAN seperti Vietnam, Filipina, dan Kamboja juga memiliki prospek cerah. Strategi diplomasi ekonomi yang tepat sangat penting untuk menembus pasar-pasar ini.

“Pemerintah harus berkomitmen meningkatkan inovasi dan efisiensi, mendorong riset teknologi, pengembangan SDM, percepatan sertifikasi produk, serta kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga riset. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi inovator di sektor energi,” tegasnya.

Terakhir, Prof. Agus juga menyoroti potensi Provinsi Banten dalam pengembangan teknologi berkelanjutan. “Kawasan industri Cilegon sangat cocok untuk pengembangan material maju, termasuk logam paduan, material komposit ringan untuk alat kelistrikan, dan material fungsional seperti superkapasitor,” jelasnya. Selain itu, potensi energi terbarukan di Banten seperti energi surya di pesisir Serang, Pandeglang, dan Lebak; biomassa dari limbah pertanian dan kelapa sawit; serta mikrohidro di perbukitan Lebak masih belum tergarap maksimal.

Scroll to Top